Sunday, August 31, 2008

nanay - tatay

semua mata tertuju ke arahku
dan ia terus bicara
antusias, tak berhenti

setiap kata berakhir, ia selalu sambung dengan kata baru
dan
kemudian
karena
dari sana

matanya tak pernah berhenti menatapku
dan terus melontarkan ceritanya padaku

cerita yang segar
dengan ide-ide baru
cerdas, brilian, tulus, liar

filsafat, psikologi, psikiatri, religi, herbal, pronic

ia orang baru yang terlahir kembali
dari nanay-tatay yang tak berhenti berjuang
meski bayonet telah memenggal kepalanya

manila, 30 agustus 2008

Tuesday, July 22, 2008

Mugi Dampingi Korban

Timika Pos
Sabtu, 28-06-2008 03:45 (GMT+9.5)

Mantan Korban Penculikan Aktivis, Apa Aktivitas Mereka Kini (1)

Mugi Dampingi Korban, Jati dan Nezar Jadi Jurnalis

Sepuluh tahun lalu para aktivis diculik dalam sebuah operasi rahasia. Saat belasan korban tak diketahui nasibnya hingga kini, beberapa orang beruntung masih bisa kembali ke rumah. Apa yang mereka lakukan dalam kehidupan "kedua" mereka kini?

FAROUK ARNAZ, Jakarta

LUKA batin Mugiyanto hingga kini belum juga sembuh. Satu dasawarsa berlalu ternyata tak membuat dia lepas dari pengalaman traumatik itu. Terutama jika melihat tatapan mata Oetomo Rahardjo, ayahanda Petrus Bima Anugrah; ataupun Ibu Nung, ibunda Yadin Muhidin, yang masih berharap anak-anak mereka –dua di antara 13 korban penculikan– suatu hari akan pulang.

Menurut Mugiyanto, sebagai survivor (korban selamat) peristiwa penculikan, perasaan itu awalnya ini hanya soal personal. Dia merasa beruntung sehingga terdorong harus berjuang untuk teman-temannya. "Tapi, kini (sudah berkembang) soal keadilan, kepastian, dan kehidupan. Orang yang diculik bukan hanya teman-temanku," kata Mugiyanto yang kini menjadi ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) kepada Jawa Pos.

Bapak seorang orang anak kelahiran Jepara, Jawa Tengah, 34 tahun lalu, hanyalah satu di antara sembilan korban penculikan yang selamat. Delapan korban yang lain adalah Aan Rusdianto, Andi Arief, Desmond Junaidi Mahesa, Faisol Reza, Haryanto Taslam, Nezar Patria, Pius Lustrilanang, dan Raharja Waluya Jati.

Adapun yang masih hilang hingga kini adalah Yani Afri, Noval Al Katiri, Dedy Umar, Ismail, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugrah, Yadi Muhidin, Hendra Hambali, Ucok M. Siahaan, M. Yusuf, Sonny, dan Wiji Thukul. Seorang lagi, Leornardus "Gilang" Nugroho, ditemukan tewas.
Peristiwa penculikan itu terjadi pada akhir rezim kekuasaan Soeharto. Saat itu gerakan yang potensial dan dinilai radikal sehingga menggerogoti kekuasaan rezim harus dilenyapkan. Belakangan, operator lapangan kasus itu terungkap. Ada 11 anggota Kopassus yang divonis bersalah. Lima di antaranya dipecat.

Tidak berhenti sampai di situ. Mantan Menhankam/Panglima ABRI Jenderal Wiranto mengumumkan hasil sidang Dewan Kehormatan Perwira yang mengakhiri karir Letjen Prabowo Subianto yang saat itu menjabat komandan Sesko ABRI. Sementara mantan Danjen Kopassus Mayjen Muchdi Purwopranjono dan mantan Komandan Grup IV/Sandi Yudha Kopassus Kol Inf Chairawan dibebaskan dari semua tugas dan jabatan struktural ABRI.

"Sampai kapan pun saya tak akan pernah lupa kengerian yang diciptakan saat itu," tambah Mugiyanto yang ketika kejadian adalah salah seorang aktivis Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (Smid) –sebuah organisasi underbouw Partai Rakyat Demokratik (PRD)– yang dikejar-kejar rezim Soeharto sebgai buntut kerusuhan di kantor PDI pada 27 Juli 1996.
Hari nahas bagi mahasiswa Fakultas Sastra Inggris UGM itu terjadi pada 12 Maret 1998. Saat itu dia diciduk bersama Aan dan Nezar di rumah susun Klender, Jakarta Timur. Rumah itu dijadikan markas bawah tanah PRD yang tetap ramai meski ketuanya saat itu, Budiman Sudjatmiko, dibui. "Sejak diambil itu, semua siksaan saya rasakan," imbuhnya.

Mugi, sapaan akrabnya, lalu dikejar para penyekap dengan pertanyaan seperti siapa saja teman-temannya. Tak hanya interogasi, dia juga menjalani siksaan seperti disetrum dan dipukuli dalam keadaan tangan diborgol.

Pada 15 Maret 1998, dia, Nezar, dan Aan diserahkan ke Polda Metro Jaya oleh penculiknya. Di markas korps baju cokelat itu, Mugi cs diproses pidana. Dia dikenai pasal subversif. Tapi, pada 6 Juni 1998, dia dilepaskan dari tahanan setelah mendapat penangguhan penahanan buntut tumbangnya rezim Soeharto pada 21 Mei 1998.

"Aku baru merasa jadi manusia setelah dibebaskan," imbuhnya. Darah aktivis Mugi tak pernah berhenti menggelegak hingga akhirnya menjadi ketua IKOHI, organisasi tempat mendiang Munir menjadi penasihatnya.

Bertahan di dunia aktivis juga dilakoni Raharja Waluya Jati yang saat itu ditemui di forum yang sama dengan Mugi. Jati yang protolan Fakultas Filsafat UGM adalah salah seorang pimpinan PRD. Lelaki kelahiran Jepara, 24 Desember 1969, itu diculik di RS Cipto Mangunksumo, Jakarta, pada 12 Maret 1998 saat bersama Faisol Reza berjalan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

"Semua jengkal dari peristiwa itu masih saya ingat," kata Jati yang kini menjadi direktur eksekutif radio Voice of Human Rights. Munir adalah mantan ketua dewan pendiri VHR.
Mengapa masih setia dengan dunia aktivis? "Ini tanggung jawab moral. Saya pernah hidup dalam situasi itu. Reformasi belum selesai," kata Jati yang pernah disiksa penculik dengan dibaringkan telanjang di balok es.

Jati mengaku tetap menghormati pilihan rekan-rekannya yang sibuk dengan dunianya masing-masing. "Mereka merespons politik dan menyalurkan asipirasi dengan cara bermacam-macam. Andi Arief, misalnya, juga Reza (Faisol Reza)," tambahnya.

Nezar Patria, korban penculikan yang lain, menjalani kehidupan berbeda. Pascabebas dari penculikan, lelaki kelahiran Sigli, Aceh, 5 Oktober 1970, yang pernah menjabat Sekjen Smid memilih berkarir di jurnalistik. Dia pernah bergabung dengan majalah Tempo. Namun, belakangan dia bergabung dengan portal berita ekonomi dan politik Kanal One di media grup milik Aburizal Bakrie.

"Hingga kini belum ada partai politik yang cocok. Partai yang kuat, yang membangun basis massa, dan bukan hanya untuk mesin pemilu," katanya.

Nezar mengakui, sebenarnya mereka yang pernah diculik itu masih punya mimpi tentang Indonesia yang baik. Indonesia yang berkeadilan. "Tentu caranya yang beda-beda. Taktiknya yang berbeda-beda. Saya masih intens berkomunikasi dengan kawan-kawan itu," kata master lulusan London School of Economic and Political Science.

Nezar juga masih merasa punya utang: mencari tahu "keberadaan" teman-teman korban penculikan yang hingga kini belum diketahui rimbanya. Caranya, dia tak pernah merasa lelah untuk menjaga isu ini tetap hidup. "Ini kehidupan kedua saya yang tak akan saya sia-siakan." (el)

Monday, May 26, 2008

Pejuang Orang Hilang

Media Indonesia Edisi Cetak Siang - Polkam

Senin, 26 Mei 2008 10:16 WIB
Mugiyanto, Pejuang Orang Hilang


SUDAH 10 tahun berlalu. Namun, ke-13 orang aktivis prodemokrasi yang diculik hilang tidak tahu rimbanya. Hanya segelintir orang yang masih peduli dan memperjuangkan kembalinya tumbal demokrasi tersebut. Salah seorang di antaranya adalah Mugiyanto, mantan korban penculikan yang selamat.

Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu kini mendirikan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi) sebagai wadah bagi keluarga dan mereka yang peduli untuk memperjuangkan kembalinya 13 aktivis yang masih belum kembali itu jika masih hidup. Apabila sudah meninggal keluarga bisa mengetahui di mana pusaranya.

"Saya merasa beruntung, beberapa teman belum ketahuan rimbanya. Korbanlah yang harus turut memperjuangkan nasibnya, tidak bisa menyerahkan kepada orang lain," Mugiyanto memaparkan alasan pendirian organisasi yang tidak punya cukup dana itu.

Dengan Ikohi, dia telah melakukan advokasi bagi korban maupun keluarga orang hilang ke dalam dan luar negeri untuk mengembalikan 13 rekannya tersebut. Ikohi tentu juga meminta pertanggungjawaban negara karena semua korban meyakini bahwa negara melalui tentara melakukan penculikan ini secara sistematis.

Keengganan Jaksa Agung melakukan penyidikan penghilangan paksa ini tidak membuat Ikohi putus asa. Pria kelahiran Jepara, 2 November 1973 itu yakin kunci penyelesaian masalah ini ada di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Korban penculikan
Mugiyanto lalu mengisahkan penculikan dirinya, Jumat, 13 Maret 1998, pukul 19.00 WIB di rumah kontrakan di Klender, Jakarta Timur. Dia sempat diinterogasi di Koramil Duren Sawit sebelum dibawa ke Kodim Jakarta Timur. Dengan mata tertutup dia kemudian dibawa ke sebuah tempat yang tidak diketahuinya.

"Ketika turun dari kendaraan, saya langsung dihajar sampai jatuh dan berdarah-darah, ditelanjangi, disetrum dengan kedua tangan terikat di sebuah ruangan yang sangat dingin," ujar ayah satu anak itu.

"Saya membayangkan hidup akan berakhir di sini. Selama dua hari dua malam bersama Nezar (Patria) dan Aan (Rusdianto), mata saya diikat. Kami dihajar dan disetrum. Teman-teman yang sudah lama di sana, siksaannya lebih parah lagi," tambah sarjana lulusan Fakultas Sastra Inggris UGM itu.

Dia menduga dirinya selamat dari pembunuhan karena ditangkap dan sempat menjadi rebutan beberapa pihak, seperti Kodim, Koramil, Babinsa, polisi, dan Tim Mawar Kopassus. Anak petani itu lantas ditahan di Rutan Polda Metro Jaya sejak 15 Maret hingga 6 Juni 1998. Mugi mengaku tidak pernah merasakan kesedihan luar biasa kecuali saat ayah dan kakaknya menengok dia saat berada di tahanan polda. Suaranya pun tak terdengar, hanya terdengar isak tangis dan linangan air mata yang membasahi kedua pipinya.

Walau orang tuanya tidak ada yang tamat sekolah dasar, keduanya tetap menghargai dan bangga atas pilihan hidup putranya itu. "Hati-hati, karena yang kamu hadapi adalah negara. Mereka sangat kuat," kenang Mugiyanto soal pesan kedua orang tua.

Restu orang tua ini juga yang menjadi pendorongnya untuk tetap memperjuangkan idealisme walaupun harus berulang kali menghadapi ancaman dan berseberangan dengan kebijakan negara.

Idealisme membela yang lemah memang tidak pernah luntur dari jiwa Mugiyanto. Di saat teman-teman seperjuangannya, seperti Andi Arief menjadi Komisaris PT Pos Indonesia, Pius Lustrilanang dekat dengan Kopassus atau Desmond Junaidi Mahesa menjadi pengacara konglomerat Eka Cipta Wijaya, Mugiyanto lebih memilih keluar dari stasiun TV Belanda yang sempat menjanjikan kehidupan layak dan mendirikan Ikohi. *

xatria@mediaindonesia.co.id

Thursday, May 15, 2008

Mengenang Para Martir Perubahan - VHR Media

From the Voice of Human Rights Media
15 Mei 2008 - 13:00 WIB

10 Tahun Reformasi
Mengenang Para Martir Perubahan
Mugiyanto*

SETIAP kali diwawancarai, Suyatno selalu menjelaskan, "kalau tidak karena peristiwa yang menimpa Suyat pada awal tahun 1998, pasti tidak akan ada perubahan yang menempatkan mereka pada posisi seperti yang mereka nikmati saat ini. Tapi sayangnya, mereka seperti lupa itu semua". Begitu Suyatno menyampaikan kekecewaannya kepada para pemimpin negeri yang telah silih berganti sejak Soeharto lengser sepuluh tahun yang lalu. Suyatno patut kecewa karena tak satupun Presiden yang mempedulikan nasib dirinya dan ribuan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia lainnya.

Suyatno adalah kakak kandung Suyat, korban penculikan aktivis awal tahun 1998 di Solo, Jawa Tengah. Suyatno sempat ditangkap dan disiksa beberapa hari oleh sekelompok penculik yang mencari Suyat, hanya karena ia kakak Suyat yang wajahnya mirip Suyat. Sementara Suyat, adalah korban penculikan yang sampai hari ini tidak pernah pulang dan tidak diketahui nasib dan keberadaannya.

Krisis dan Tumbuhnya Gerakan Rakyat
Tidak bisa disangkal, bahwa salah satu penyebab lengsernya Soeharto adalah terjadinya krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997. Krisis ini memang tidak hanya memukul Indonesia, melainkan juga Thailand, Korea Selatan, dan beberapa negara Asia lainnya. Akan tetapi, Indonesia mengalami dampak jauh lebih serius dibandingkan negara-negara tersebut. Hal ini terjadi karena langkah-langkah yang diambil Soeharto memperburuk krisis itu sendiri (Fadli Zon, 2004).

Karena sangat buruknya krisis ini, nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika sempat anjlog pada nilai terendah, yaitu mencapai Rp 17.000 per Dolar Amerika pada tanggal 22 Januari 1998. Sebelum krisis, nilai tukar rupiah terhadap dollar adalah Rp 2.500 per Dolar Amerika. Hancurnya nilai tukar rupiah ini kemudian menimbulkan efek domino berupa membumbungnya harga-harga kebutuhan pokok, bangkrutnya industri dan terjadinya pemutusan hubungan kerja secara massal, juga terjadinya capital flight.

Dalam situasi yang demikian, gejolak sosial adalah keniscayaan. Hampir setiap hari sejak pertengahan tahun 1997, media selalu memberitakan adanya aksi-aksi protes masyarakat mengecam ketidakmampuan pemerintah dan menuntut diturunkannya harga-harga kebutuhan pokok (sembako). Semua sektor masyarakat bergerak, terutama mereka yang tinggal di perkotaan. Kelompok ibu-ibu juga turut berteriak-teriak di jalan menuntut diturunkannya harga susu bayi yang harganya tak lagi terjangkau. Di pusat-pusat perbelanjaan, bank, pom bensin, juga terjadi rush dan antri panjang untuk memperebutkan barang yang jumlahnya sedikit namun harganya mahal.

Ketika krisis ekonomi semakin memburuk, aksi-aksi kriminalitas dalam bentuk pencurian dan penjarahan bahan-bahan kebutuhan pokok juga terjadi di beberapa tempat. Mulai dari aksi pencurian jagung dan singkong milik tetangga, sampai pengutilan susu dan makanan bayi di supermarket. Semuanya bermotif ekonomi, hanya untuk bertahan hidup (survival).

Gerakan prodemokrasi yang dipelopori mahasiswa sejak awal tahun 1990-an seperti mendapatkan momentum kebangkitannya. Dari sebuah awal mengusung isu-isu kampus dan nasional yang nampaknya jauh dari kepentingan dan problema masyarakat seperti tuntutan kebebasan akademik di kampus, pencabutan dwi fungsi ABRI dan paket 5 Undang-Undang Politik tahun 1985 dan lain-lain, mahasiswa lalu turut menyuarakan tuntutan diturunkannya harga-harga, dan tuntutan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang waktu itu diangap sebagai penyebab terjadinya kehancuran ekonomi Indonesia.

Aksi-aksi demonstrasi yang dipelopori mahasiswa dengan tuntutan penurunan harga dan pemberantasan KKN ini kemudian meluas di hampir seluruh kota yang ada universitasnya di Indonesia. Gerakan mahasiswa terus mendapatkan momentumnya untuk meluas tidak hanya dalam cakupan geografis, tetapi juga kualitas tuntutannya. Dari penurunan harga dan pemberantasan KKN, tuntutan mahasiswa lalu menjadi tuntutan yang struktural, yaitu REFORMASI yang secara umum diartikan sebagai tuntutan adanya perubahan struktur kekuasaan dari Orde Baru Soeharto ke struktur kekuasan yang baru yang bersih dari KKN dan diharapkan mampu mengatasi krisis ekonomi.

Para Martir
Ketika gerakan pro demokrasi menemukan momentumnya saat krisis ekonomi terjadi, serangkaian represi juga dilancarkan oleh rejim Orde Baru terhadap suara-suara kritis. Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Sonny dan Yani Afri adalah aktivis PPP dan PDI yang menjadi korban penculikan di Jakarta ketika muncul fenomena koalisi akar rumput Mega-Bintang antara pendukung PPP dan PDI melawan Golkar pada saat kampanye pemilu 1997. Sampai hari ini, 5 orang yang disebut di atas belum diketahui rimbanya.

Para aktivis Mega-Bintang yang dihilangkan ini adalah ancaman bagi dominasi dan kemenangan Golkar pada Pemilu 1997 dan "kesuksesan" agenda besar Orde Baru yang hendak menjadikan Soeharto untuk menjadi penguasa untuk kesekian kalinya. Bila fenomena Mega-Bintang tidak dihentikan, suara PPP dan PDI dikhawatirkan Golkar akan naik, karena mereka menjadi representasi suara arus bawah yang selama tiga dekade terakhir dipinggirkan dan diambangkan politik dan suaranya oleh kebijakan Orde Baru. Menghilangkan mereka menjadi pilihan model represi yang dipakai Orde Baru saat itu.

Lalu pada awal tahun 1998, mesin represi Orde baru bekerja lagi. Tindakan penangkapan dan penculikan dilakukan terhadap aktivis-aktivis pro demokrasi yang diduga akan menggangu Sidang Umum MPR Maret 1998 yang mengagendakan pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden untuk yang ke-7 kalinya. Mereka yang menjadi korban pada peristiwa penculikan periode ini antara lain adalah aktivis Aldera, LBH Nusantara, PDI Megawati, Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Ada 14 korban yang diculik pada periode ini. Dari 14 orang tersebut, 9 orang yang telah dilepaskan termasuk saya, seorang yang kemudian diketemukan meninggal (Gilang), dan 4 orang yang sampai hari ini tidak diketahui nasib dan keberadaannya. Mereka ini adalah Wiji Thukul, Petrus Bimo Anugerah, Suyat dan Herman Hendrawan.

Sebelum diculik, selain aktif di Alsiansi Demokrasi Rakyat (Aldera), Pius Lustrilanang juga aktif di Solidaritas untuk Amin dan Mega (SIAGA), sebuah jaringan untuk mendukung Amin Rais dan Megawati menjadi calon presiden untuk menantang Soeharto. Pada masa itu, mencalonkan orang untuk menjadi Presiden diluar Soeharto adalah tindakan yang bisa dikategorikan subversi. Sementara Desmond Junaedi Mahesa adalah aktivis LBH Nusantara Bandung banyak melakukan advokasi kasus-kasus rakyat bidang pertanahan. Sedangkan Haryanto Taslam adalah Sekjend. DPD PDI DKI Jakarta yang punya hubungan dan pengaruh sangat kuat dengan basis massa PDI dan gerakan prodemokrasi di Jakarta. Taslam diangap berbahaya karena ia punya kemampuan untuk memobilisasi massa dalam jumah besar.

Lalu bagaimana dengan para aktivis PRD, SMID dan organisasi-organisasi lain yang dekat dengannya, sehingga mereka menjadi target utama pemculikan?Sejak awal 1990-an, organisasi-organisasi yang kemudian mendirikan PRD seperti Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Pusat perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Serikat Tani Nasional (STN), Jaker (Jeringan Kerja Kesenian Rakyat) dan Serikat Rakyat Indonesia (SRI) adalah organisasi-organisasi yang giat mengorganisir kekuatan rakyat untuk secara keras mengkritisi dan menentang kebijakan Orde Baru. Mereka mengidentifikasi bahwa perubahan fundamental harus dilakukan di Indonesia, dengan pertama-tama mencabut dan menganti beberapa undang-undang dan konsep mendasar kebangsaan sebagai syarat menuju Indonesia yang demokratis dan berkeadilan sosial.

Beberapa diantaranya adalah, pencabutan Dwi Fungsi ABRI dengan mengembalikan militer ke barak, memisahkan kepolisian dari militer, dan membubarkan struktur teritorial ABRI seperti Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Distrik Militer (Kodim), Komando Rayon Militer (Koramil) dan Badan Pembina Desa (Babinsa). Mereka juga menuntut pencabutan paket 5 Undang-Undang Politik tahun 1985 yang hanya mengijinkan adanya 3 partai politik, menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya dasar organisasi, adanya wadah tunggal bagi setiap sentir masyarakat dan memungkinkan adanya wakil militer di Parlemen. PRD menuntut adanya sistem multipartai di Indonesia dan kebebasan berorganiasi di Indonesia.

Sementara organisasi-organisasi sektoral yang bergabung menjadi organisasi massanya menuntut perubahan fundamental bidang pertanian dan pertanahan, perburuhan, pendidikan, kebudayaan dan penanganan kaum miskin perkotaan. PRD juga sangat tegas mendukung hak demokratik rakyat Timor Lorosae untuk menentukan nasibnya sendiri melalui referéndum.Di bidang ekonomi, PRD waktu itu mengecam keras kebijakan yang berorientasi pasar bebas dan takluk pada dikte-dikte IMF dan Bank Dunia yang nyata-nyata merugikan kepentingan masyarakat Indonesia.

Aktivis PRD, SMID, Jaker dan sebagainya dianggap berbahaya karena tuntutannya yang langsung menghunjam ke tulang punggung penopang (backbone) kekuaaan Orde Baru.Sebelum melakukan penculikan terhadap para aktivis PRD, pada peristiwa Sabtu Kelabu 27 Juli 1996, yaitu penyerangan kantor PDI Megawati di Jl. Diponegor Jakarta yang berakibat terjadinya kerusuhan massa, PRD dianggap sebagai biangkerok (mastermind) dan lebih dari itu, PRD dianggap sebagai organsasi komunis yang baru. Sampai 1998, aktivis-aktivis PRD adalah musuh-musuh berbahaya bagi rejim Orde Baru yang musti dilenyapkan.Mesin represi Orde Baru tidak juga berhenti menindas gerakan prodemokrasi. Ratusan pendukung PDI Megawati yang mengadakan pawai menuntut penurunan harga di Jakarta Selatan di cegat aparat polisi dan tentara lalu semuanya dikirim ke rumah tahanan Polda Metrojaya. Di kota-kota besar seperti Bogor, Jogjakarta, Makassar, Medan, Surabaya, dan Bandung, demonstrasi mahasiswa dihadapi pentungan, gas air mata, penjara bahkan timah panas. Lalu tewaslah antara lain Moses Gatutkaca di Jogjakarta dan puluhan orang tak bernama lainnya.

Puncaknya adalah ketika 5 orang mahasiswa Trisakti, Jakarta ditembak mati oleh para sniper ketika mereka menggelar aksi demonstrasi di halaman kampus pada tanggal 12 Mei 1998. Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan Sie dan Hery Hartanto adalah para mahasiswa yang akhirnya gugur bersimbah darah karena diterjang peluru panas itu. Peristiwa inilah yang kemudian menyulut kemarahan publik keesokan harinya hingga tiga hari beturut-turut di Jakarta dan kota -kota besar lainnya.

Tanggal 13, 14 dan 15 Mei 1998, Jakarta luluh lantak. Ribuan orang tumpah ruah ke jalan, menghancurkan apa yang bisa dihancurkan. Mereka merusak dan membakar pertokoan, fasilitas publik dan simbol-simbol kekuasaan Orde Baru. Namun, selalu saja ada yang mengambil keuntungan ditengah histeria massa ini. Massa yang beringas tiba-tiba seperti dikomando menjarah pertokoan, mall dan pasar swalayan. Massa juga menjadikan etnis Tionghoa sebagai sasaran. Mereka menjarah dan membakar harta milik keturunan Tionghoa, dan bahkan melakkan penyerangan fisik. Beberapa LSM bahkan menyebutkan adanya kekerasan seksual serius terhadap perempuan etnis Tionghoa.Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TRuK), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM menyebutkan ribuan orang menjadi korban selama 3 hari kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan meluas ke beberapa kota besar seperti Solo, Macasar dan Medan ini. Ribuan orang tanpa nama yang menjadi korban ini hilang tanpa jejak, mati terbakar, mengalami aneka kekerasan seksual dan sebagainya.

Mereka semua adalah para martir, yang karena pengorbanannya, baik disadari atau tidak, telah mengantarkan kekuasaan formal Orde Baru pada akhir keberadaannya. Yaitu ketika akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto terpaksa mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden Republik Indonesia.Para martir itu telah membuka jalan perubahan dan darah serta jiwanya telah menjadi penyubur bagi tumbuhnya demokrasi Indonesia.

Penyangkalan Negara
Kembali ke tesis sederhana Suyatno, kayak Suyat itu, 'apakah pemerintah saat ini telah memberikan para martir itu tempat yang layak? Apakah para martir itu telah mendapatkan apa yang menjadi hak mereka, di Indonesia yang baru ini?'Suyatno sudah memberikan jawabannya. Yaitu bahwa ia kecewa.Mereka yang hilang sampai saat ini tidak diketahui rimbanya. Suyatno masih tidak mengetahui nasib dan keberadaan nasib Suyat adiknya. Demikian juga keluarga sorban yang lain yang masih dalam 10 tahun penantian ketidakpastian. Hasil penyelidikan Komnas HAM yang seharusnya disidik oleh Jaksa Agung juga malah berkasnya dikembalikan ke penyelidik, sehingga proses penanganan hukum sama sekali tidak maju.

Lima korban peristiwa penembakan di kampus Trisakti memang telah diberi penghargaan gelar sebagai pahlawan reformasi oleh Presiden. Tetapi apakah itu bisa mengganti 5 nyawa yang melayang, terlebih lagi ketika mereka yang menembak sama sekali tidak dimintai pertanggungjawaban? Hasil penyelidikan Komnas HAM juga mengalami perlakuan yang sama oleh Jaksa Agung, dikembalikan ke penyelidik.

Lalu bagaimana dengan ribuan korban peristiwa kerusuhan 13 - 15 Mei 1998? Banyak dari mereka yang masih dalam ketidakpastian, karena tidak menemukan jasad keluarga yang hilang. Para keluarga juga masih menghadapi cap negatif dan stigma bahwa sanak saudara mereka yang hilang dan mati terbakar adalah penjarah. Belum lagi yang masih mengalami trauma akibat kekerasan seksual dan perkosaan.Sama dengan kasus penculikan dan penembakan mahasiswa, berkas penyelidikan Komnas HAM untuk kasus kerusuhan Mei 1998 ini juga dikembalikan oleh Jaksa Agung ke penyelidik Komnas HAM. Sebagaimana kasus penculikan aktivis, Jaksa Agung mengatakan bahwa mereka tidak bisa melakukan penyidikan sebelum pengadilan HAM ad hoc didirikan presiden.

Sungguh, ini adalah sebuah penyangkalan atas prinsip keadilan, terutama korban. Putusan Makhamah Konstitusi 21 Pebruari 2008 yang menyatakan bahwa DPR memerlukan hasil penyelidikan Komnas HAM dan Penyidikan Jaksa Agung untuk bisa merekomendasikan Presiden membentuk Pengadilan HAM ad hoc dianggap angin lalu oleh Jaksa Agung.

Kondisi ini diperburuk lagi oleh ulah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan 600 purnawirawan TNI/Polri yang bersepakat untuk melawan kerja-kerja Komnas HAM untuk menyelidiki kasus-kasus pelangaran HAM masa lalu.

Hasilnya: impunitas. Ironisnya, Presiden Yudhoyono yang seharusnya menjadi palang penghalang impunitas, menjadi membisu. Publik masih ingat, ia pernah berjanji merehabilitasi korban peristiwa 1965. Ia juga pernah berjanji menuntaskan kasus pembunuhan Munir, dan menganggap janjinya sebagai "a test of our history".

Bulan Maret lalu, kepada Kontras dan keluarga korban pelanggaran HAM yang diundangnya di Istana, Presiden Yudhoyono berjanji untuk memastikan bahwa semua pihak dan institusi negara akan patuh hukum dalam usaha penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Kini, luka-luka akibat rangkaian catatan hitam dalam sejarah Republik ini masih terbuka menganga. Yang tinggal kemudian adalah berseraknya orang-orang yang menjadi korban. Mereka yang seharusnya menikmati buah manis hasil perjuangan para martir, oleh Negara dijadikan sebagai paria. Sudah 10 tahun kita menapaki alam perubahan itu. Haruskan urat kesabaran mereka para korban harus direntang lagi? Presiden Yudhoyono memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang akan terus mengusiknya sampai ke meja makan ini.***

Mugiyanto adalah penyintas (survivor) penculikan aktivis 1998, kini ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)

Thursday, March 13, 2008

Refleksi 10 Tahun Penculikan Mugiyanto



Kami Tidak Akan Pernah Lupa
Mugiyanto[1]


Tepat pada hari ini sepuluh tahun yang lalu, pada tanggal 13 Maret 1998, beberapa gerombolan aparat koersif Orde Baru menyelinap dari kampung ke kampung di kawasan padat penduduk Jakarta. Mereka hendak menangkap orang-orang “berbahaya” yang menurut pimpinan mereka akan bisa menumbangkan kekuasaan otoriter Orde Baru di bawah Suharto. Mereka sedang mencari Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugiyanto dan Petrus Bima Anugerah. Empat orang yang mereka yakini tinggal di tempat yang sama.

Sehari sebelumnya, pada tanggal 12 Maret 1998, salah satu dari gerombolan itu berhasil menjalankan misinya. Gerombolan itu berhasil menculik 3 orang “berbahaya”. Mereka adalah Faisol Riza, Raharja Waluya Jati dan Herman Hendrawan. Ketiganya adalah pimpinan bawah tanah organisasi terlarang waktu itu, Partai Rakyat Demokratik atau PRD. Riza, Jati dan Herman diculik ketika mereka sedang mencari makan siang di sepanjang Jalan Diponegoro. Riza dan Jati diculik di sekitar RSCM. Sementara Herman diyakini diculik di seputar kompleks Megaria.

Setelah disekap, diinterogasi dan disksa selama hampir sebulan di suatu tempat misterius, Riza dan Jati lalu dipulangkan ke rumah masing-masing. Tetapi, Herman tidak diperlakukan sama. Sampai hari in, Herman tidak pernah pulang ke Bangka. Bahkan ketika ayah tercintanya meninggal 5 tahun lalu.

Jumat, 13 Maret 1998, pukul 18.30 adalah hari naas bagi saya. Begitu masuk rumah kontrakan yang baru kami tempati selama seminggu, saya menemui beberapa kejanggalan. Nezar dan Aan harusnya ada dirumah itu, karena 20 menit sebelumnya saya meneleponnya untuk menunggu dan mereka mengatakan “ya”. Tetapi mereka berdua tidak ada. Mereka hanya meninggalkan segelas air jeruk yang masih panas. Mereka pasti sedang keluar sebentar, pikir saya waktu itu.

Saya juga sempat mengirim pesan lewat pager yang dipegang Nezar. “Nez, kamu di mana? Aku tungu di rumah ya”. Begitu bunyi pesan yang saya sampaikan lewat operator. Pesan itu saya sampaikan 2 kali, setelah yang pertama tidak mendapat respon. Sekitar 5 menit kemudian pikiran saya jadi macam-macam. Memikirkan berbagai kemungkinan buruk. Maklum, saat itu kami memang sedang dalam masa perburuan. Kami dituduh menjadi dalang kerusuhan 27 Juli 1996. Sebuah peristiwa penyerangan kantor PDI di Jalan Diponegoro Jakarta oleh orang-orang berbadan kekar dan berambut cepak, yang menyebabkan ratusan orang meninggal dan hilang.

Lalu ada 2 orang kawan yang menelepon ke rumah. Mereka berdua panik, salah satunya menangis sambil meninggalkan pesan, “kalian hati-hati, jangan ada yang tertangkap lagi”. Bukannya membesarkan hati, pesan itu justru menguatkan bahwa sesuatu yang sangat buruk sedang mengancam diri saya. Lalu saya membayangkan puluhan kawan-kawan PRD yang sedang dipenjara saat itu, Budiman Sudjatmiko, Dita Sari, Petrus Harianto dan lain-lain.

Ternyata benar. Saya mendekati jendela rumah kontrakan lantai 2 itu. Saya menyibakkan gorden untuk mengintip keluar. Badan saya lemas, dibawah sana sudah berjejer orang-orang berbadan tegap menatap saya. Dari jendela yang lain, saya melihat hal yang sama. Lalu saya berjingkat jalan ke dapur, memikirkan loncat ke bawah dan melarikan diri. Tetapi di bawah sana, ada berjajar puluhan orang yang lain. Rumah kontrakan saya sudah dikepung. Badan saya melemas. Saya sudah membayangkan kematian.

Lalu dengan tenaga tersisa, saya raih saklar untuk mematikan lampu. Persis pada saat itulah mereka menggedor rumah. “Buka pintu! Buka pintu!”. Kunci pintu kubuka, lalu sekitar 10 orang masuk. Satu dari mereka adalah orang tua berpeci seperti perangkat kelurahan. Ia Sangat sopan dan menenangkan, “Mas, ikuti bapak-bapak ini saja ya”. Dua orang berpakaian tentara dinas lapangan. Selebihnya berpakaian preman.

Setelah mengacak-acak rumah, 3 menit kemudian saya dibawa turun. Lalu dinaikkan kendaraan yang tengah menunggu untuk dibawa ke statu tempat yang ternyata adalah Koramil Duren Sawit Jakarta Timur. Setengah jam diinterogasi, lalu “kami” dibawa ke Kodim Jakarta Timur. “Kami” karena sejak dari Koramil itu, saya punya “teman” yang juga ditangkap, namanya “Jaka”. Paling tidak begitulah ia memperkenalkan diri di hadapan saya dan interogator Koramil.

Terakhir ketahuan, Jaka adalah perwira Kopassus, salah satu anggota Tim Mawar yang ditugaskan untuk memastikan bahwa saya tidak jatuh ke tangan kesatuan lain. Setelah mampir 3 menit di Kodim Jakarta Timur, saya dinaikkan kendaraan lagi. Kali ini dengan mata ditutup. Dan dari sinilah, prosesi interogasi dan penyiksaan khas serdadu didikan Amerika dimulai.

Dari tanggal 13 Maret malam hari sampai 15 Maret sore hari saya disekap, diinterogasi dan disiksa. Mata ditutup, dua tangan dan dua kaki diikat di tempat tidur velbed. Hanya memakai celana dalam. Di sana ada suara sirine yang meraung-raung, suhu ruangan yang sangat dingin, dan alat setrum listrik yang bunyinya seperti cambuk. Ada juga sarana siksa yang sangat mengerikan, para penculik sengaja memperdengarkan suara jeritan orang lain yang sedang disiksa. Sungguh biadab para penculik ini. Mereka memperdengarkan Nezar Patria dan Aan Rusdianto yang sedang mereka siksa di dekat saya. Dari situlah saya sadar bahwa sebelum saya ditangkap, Nezar dan Aan sudah duluan mereka culik. Pesan pager saya untuk Nezar diterima para penculik yang zalim itu.

Dua hari berada di Guantánamo Indonesia, yang akhirnya kami ketahui sebagai markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timar, akhirnya kami dipindahtangankan ke Polda Metrojaya, Jakarta. Bersama Nezar dan Aan saya lalu ditahan di Rutan Polda sampai akhirnya ditangguhkan penahanannya pada tanggal 6 Juni 1998. Kami dikeluarkan dari penjara karena Presiden Habibie mencabut UU Anti Subversi, yang pada waktu itu dijadikan dasar alasan penahanan kami.

(kesaksian kronologis sudah saya keluarkan 8 Juni 1998 dan bisa didownload di www.ikohi.blogspot.com)

Saya menuliskan lagi cerita ini dengan jantung berdebar. Saya berusaha melawan trauma, walau sulit. Amat sulit. Saya tidak bisa melupakannya. Saya hanya bisa mengelolanya dan menyimpan memori ini untuk dijadikan energi hidup yang positif. Terutama karena “kesalahan” masa lalu saya adalah karena melawan kediktatoran. Suatu “kesalahan” yang sampai detik ini saya anggap kebenaran. Saya bangga karena masa lalu saya ini. Juga karena saat ini saya tengah berada bersama mereka yang menjadi saksi dan martir atas 3 dekade lebih masa kediktatoran. (Semoga stockholm syndrom selalu jauh dari hidup saya).

Kini, 10 tahun peristiwa tersebut sudah terjadi. IKOHI, tempat saat ini saya beraktifitas untuk menjalankan, mengisi dan melanjutkan hidup, bersama ratusan dan ribuan orang yang senasib, kini masih membangun solidaritas, kerjasama dan kekuatan.

Tapi kami sadar, bahwa hanya dengan dukungan masyarakat luas kami akan bisa menjadikan penghilangan paksa, penculikan orang sebagai masa lalu, sebagai sejarah. “Make disappearance a history” Begitu slogan kita di gerakan internasional melawan penghilangan paksa. Menjadikan praktik menculik, menghilangkan orang sebagai praktik terlarang, karena ia identik dengan Hitler/Nazi, Pinochet, Videla/Junta, Suharto/ORBA dan sebagainya. Ia menjadi ukuran peradaban sebuah bangsa. Dan untuk menuju ke sana, yang pertama-tama yang harus dilakukan adalah dengan menyelesaikan apa yang telah terjadi.

***

Pada periode 1997/1998, 23 orang kami catat telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan perculiknya (Mugiyanto salah satunya) dan 13 lainnya masih hilang hinggá hari ini. Kasus tersebut sudah diselidiki oleh Komnas HAM berdasar UU No 26/2000 Tentang Pengadilan HAM dan diserahkan ke Jaksa Agung 2 tahun lalu. Kini Jaksa Agung harus segera melakukan penyidikan, terutama karena Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Pebruari 2008 menyatakan demikian.

Kasus inilah yang harus segera diselesaikan, bukan karena ini satu-satunya kasus penghilangan paksa, atau sebagai kasus yang paling besar, tapi semata karena kasus penghilangan paksa 1997/1998 ini proses hukumnya sudah cukup maju, sudah di pintu masuk pengadilan HAM. Baru dari sana kita akan melihat bagaimana kasus penghilangan paksa yang terjadi paska 30 September 1965, DOM Aceh dan Papua, Pembunuhan Misterius (Petrus) dll akan dipertanggungjawabkan oleh negara.

Penting juga diperhatikan bahwa kasus penghilangan paksa (enforced disappearances) punya karakter yang unik dan spesifik. Penyiksaan (torture) sering disebut sebagai ibu dari pelanggaran HAM, karena hampir semua tindak pelanggaran berat HAM mengandung unsur penyiksaan. Tetapi penghilangan paksa adalah muara dari pelanggaran berat HAM. Artinya penghilangan paksa mengandung unsur-unsur pelanggaran berat HAM lainnya seperti penyiksaan, penahanan, bahkan sampai pembunuhan.

Penghilangan paksa juga spesifik karena keluarga yang ditinggalkan terus menerus berada dalam ketidakpastian, mengenai nasib dari orang yang dihilangkan tersebut. Situasi ketidakpastian ini sendiri adalah bentuk penyiksaan tersendiri. Karena dampak lanjutan bagi keluarga inilah mekanisme PBB (UNWGEID) kemudian mensyaratkan adanya urgent dan prompt action, langkah darurat dari negara untuk segera turun tangan begitu kasus penghilangan paksa terjadi. Di Indonesia, kami perlu menunggu 10 tahun, bahkan mungkin lebih. Jutaan keluarga korban yang lain pada kasus 1965, perlu menunggu lebih dari 40 tahun.

Keluarga korban penghilangan paksa juga menghadapi kesulitan-kesulitan tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Stigmatisasi sebagai separatis, komunis, pemberontak, fundamentalis adalah fenomena harian.Stigma ini ini kemudian berlanjut pada diskriminasi dan isolasi tidak hanya secara sosial oleh masyarakat tapi juga yang struktural oleh negara, melalui kebijakan-kebijakan yang ada.

Suatu hari, anak seorang korban penghilangan paksa menghadapi masalah di sekolah. Fajar Merah ditanya oleh gurunya mengapa ia mengisi kolom nama ayah dengan nama ibunya, Dyah Sujirah. Fajar menjelaskan bahwa ia tidak mengenal bapaknya. Ibunyalah yang membesarkan dia selama ini. Ibunyalah yang selama ini menjadi ayah bagi dia. Dia sendiri tidak tahu apa bapaknya masih ada atau tidak, karena ibunya juga tidak tahu. Ia tahu bahwa ayahnya adalah Wiji Thukul, tapi ia tidak mengenalnya dengan dekat karena dipisahkan kediktatoran, setelah pertemuan terakhir bulan Desember 1997, ketika Fajar ulang tahun yang ke-3. Thukul mengabadikan momen ulang tahun Fajar waktu itu dengan sebuah handycam. Tidak ada yang tahu, apakah Thukul kini sedang memutar video rekaman ulang tahun anaknya itu.

Keluarga Suyat (korban penghilangan paksa yang lain) di Gemolong, Sragen, punya cerita tentang sebuah pengharapan. Sejak Suyat diculik awal 1998, keluarga berharap ia segera bisa dikembalikan para penculiknya, seperti yang lain. Mereka sudah mempersiapkan seekor kambing yang akan dipotong bila harapan indah itu terjadi. Tetapi tahun demi tahun, harapan itu tidak datang juga dan kambing semakin dimakan usia. Hingga akhirnya, karena masalah ekonomi, kambing yang disiapkan itu terjual juga. Tetapi toh harapan itu tetap ada. Dan kambing yang siap dipotong bisa datang dari mana saja.

Menunggu adalah sesuatu yang sangat membosankan. Menunggu kepastian adalah pelipatgandaan atas situasi yang sangat membosankan. Karenanya ia menjadi sesuatu yang sangat meresahkan, membuat putus asa. Menunggu kepastian bisa menjadi menunggu dalam ketidakpastian. Terlebih lagi ketika rentang waktu menunggu terus diulur. Ia menjadi sesuatu yang bisa membunuh, mematikan.

IKOHI mencatat, dari keluarga yang dihilangkan pada periode 1997/1998 tersebut, 4 orang tua korban telah meninggal. Mereka adalah ayahanda Yadin Muhidin, ayahanda Herman Hendrawan, ayahanda Noval Alkatiri. Mereka semua telah berpulang karena sakit, karena dibunuh ketidakpastian. Mereka meninggal ketika orang-orang yang mereka sayangi belum lagi pulang memeluk mereka. Beberapa orang tua yang lain juga mengalami sakit, yang estela diidentifikasi oleh dokter dikarenakan oleh tekanan mental yang mereka alami. Mereka terkena psikosomatis, dengan penyakit yang beragam. Masih ada puluhan, ratusan atau bahkan ribuan korban dan keluarga korban lain yang kini mengalami hal serupa.

Banyak sekali masalah-masalah riil yang dihadapi keluarga korban dalam kehidupan sehari-hari sebagai dampak dari hilangnya orang-orang yang mereka cintai. Masalah-masalah tersebut membutuhkan negara untuk menanganinya. Secara hukum, kasus harus diselidiki, disidik dan mereka yang bertanggung jawab di tuntut di pengadilan dan dihukum secara adil. Sementara korban dan keluarga korban harus mendapatkan hak-hak pemulihan. Suatu bentuk pemulihan yang dilakukan oleh negara untuk menjadikan korban dan keluarga korban berada dalam kondisi seperti ketika peristiwa belum terjadi.

Keluarga korban harus mendapatkan jawaban lengkap dari negara atas pertanyaan agung,
“Dimana keberadaan orang-orang yang kami cintai?”
“Bagaimana keadaan mereka?”
“Kami siap menerima jawaban seburuk apapun”.
“Kalau mereka sudah meninggal, dimana mereka dikuburkan?”

Mereka juga akan meminta,
“Kembalikan mereka dalam keadaan seperti ketika kalian mengambil mereka!”

Kepada saya, Parveena Ahangar, seorang ibu yang anaknya diculik tentara India di Kashmir, India berbagi cerita.

“Suatu saat saya diminta bertemu dengan seorang perwira militer India yang membawahi kota Srinagar dimana anak saya diculik. Dalam pertemuan yang disaksikan oleh beberapa keluarga korban yang lain, perwira itu berkata, “Ibu, sudahlah, jangan ungkit-ungkit peristiwa itu lagi. Tidak mungkin kita mengembalikan anak Ibu yang hilang. Ini kami berikan santunan 100 ribu dollar (sekitar 920 juta rupiah) supaya ibu bisa melupakan peristiwa tersebut, dan Ibu bisa hidup kembali dengan normal…” Lalu saya bilang ke perwira itu, “Bapak, bagaimana kalau sekarang saya kasih Bapak uang dua kali lipat dari yang Bapak berikan lepada saya, lalu saya bunuh anak Bapak!“

Parveena menangis karena menahan amarah ketika bercerita kepada saya hampir 3 tahun lalu. Kini ia memimpin organisasi keluarga korban penghilangan paksa di Kashmir, India.

Sebagai penutup refleksi ini, kemarin, dalam obrolan di fasilitas yahoo messenger, seorang kawan menulis,

“Satu Suharto mati, muncul ribuan Suharto yang lain. Tapi satu kawan yang berjuang hilang, susah betul mendapat gantinya”. Wilson benar, karena memang, ribuan Suharto bisa dihentikan oleh satu kawan yang berjuang.

Ada kutipan lain yang baru-baru ini saya temukan kembali. Kutipan ini ada di pidato pembelaan, atau pledoi Budiman Sudjatmiko, waktu itu Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik yang tahun 1997 diadili oleh pengadilan Orde Baru. Disitu ia menuliskan,

“Aku menjadi saksi atas penderitaan rakyatku yang tengah berjuang, dan akan kubawa kesaksian itu sampai ke pembebasannya”. Saya merinding mendengar kalimat itu. Karena sampai hari ini, rakyat belum juga terbebaskan. Demikian juga 13 korban penghilangan paksa yang lain termasuk Wiji Thukul, Herman Hendrawan, Suyat, Petrus Bimo Anugerah, dan Yani Afri.

Suyatno, kakak Suyat, orang desa yang kesehariannya menjadi tukang kayu nun jauh di sana di Gemolong, Sragen selalu mengatakan, “Kalau tidak karena Suyat, tidak mungkin Gusdur, Mega dan SBY menjadi presiden”.

Ketika pamit kepada Sipon istri tercintanya, Wiji Thukul mengatakan, “Pon, aku balik ke Jakarta karena kawan-kawan pada dipenjara”.

Hmmmmm….. (menarik nafas)
Sudah 10 tahun peristiwa itu terjadi. Ketika melihat anak saya, dan anak teman-teman saya yang tengah bermain, saya merasakan waktu begitu cepat berjalan. Tetapi ketika melihat poster korban penghilangan paksa yang dipajang di kantor IKOHI, dan wajah keluarga dari mereka yang masih hilang, Mami, Bu Nung, Mbak Pon, Pak Tomo, Bu Tomo, Bu Fatah, Bu Paniyem, Pak Paimin, Bu Zuniar, saya merasakan berjalannya rentang waktu penyiksaan yang teramat amat lama.

Yang jelas, kami tidak akan pernah lupa. Bahwa dalam rentang sejarah bangsa ini, kami adalah para saksi atas kekejaman mesin penindasan pemerintahan Orde Baru. Dan kami memiliki hak konstitusional untuk menuntut apa yang memang menjadi hak kami. Kebenaran, keadilan dan perdamaian. Bahkan sampai ke liang lahat. (diterbitkan oleh VHR Media; http://www.vhrmedia.net/)

[1] Penyintas penculikan aktifis 1998, Ketua IKOHI dan AFAD